Analisis Dampak
Perubahan Undang-undang no. 27 tahun 2007 menjadi Undang-undang no 1 tahun 2014
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil
[[ Selayang
Pandang ]]
Kita sering
menjumpai istilah wilayah pesisir, tapi apakah pengertian wilayah pesisir itu
sendiri?
Wilayah pesisir berdasarkan UU no 1
tahun 2014 adalah daerah peralihan antara Ekosistem
darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Sebelum membahas mengenai Undang Undang tentang
Pengelolaan Wilayah pesisir, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai keadaan
wilayah – wilayah pesisir di Indonesia.
Indonesia adalah salah
satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan total pulau mencapai 17.508
pulau yang memastikan Indonesia
memiliki hamparan wilayah pesisir yang sangat luas.Wilayah pesisir merupakan
satu diantara banyak potensi yang dimiliki oleh Indonesia yang harus secara
optimal untuk dimanfaatkan sumberdaya nya, yang dalam UU Nomor 27 Tahun 2007,
pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa
“Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya
nonhayati;sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati
meliputi ikan, terumbu karang,padang lamun, mangrove dan biota laut lain;
sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya
buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan,
dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi
gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.”
Namun pada faktanya beginilah beberapa gambaran wilayah
pesisir di Indonesia
Memang
tidak semua wilayah pesisir di Indonesia nampak seperti gambar diatas, tetapi
apabila kita melihat beberapa wilayah pesisir di negara tetangga maka akan
sangat jelas perbedaan pengelolaan wilayah pesisir antar negara tersebut.
Sebagai
contoh adalah sebagai berikut :
(Wilayah pesisir Marina
Bay Sand Singapura)
(Wilayah pesisir di
Sydney Australia)
Atas dasar fakta – fakta tersebut diperlukan
usaha usaha baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia untuk bersinergi
membangun dan melestarikan wilayah pesisir Indonesia, salah satu usaha dalam
mewujudkan hal tersebut diantaranya menerapkan undang – undang mengenai
Pengelolaan Wilayah Pesisir yang tercantum di UU no. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian karena satu dan lain hal
direvisi menjadi UU no 1 tahun 2014. Berikut akan dibahas mengenai dampak dan
analisis perubahan mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut.
Di
penghujung tahun 2013 lalu, DPR RI mengesahkan RUU Perubahan atas UU No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang tersebut selanjutnya menjadi UU
No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Setidaknya terdapat
dua hal penting dalam UU perubahan ini, yaitu tentang pengganti HP-3(Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir) dan Kawasan Konservasi Laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) memastikan Revisi Undang-Undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil akan menjamin hak masyarakat adat setempat. Pemberdayaan
masyarakat adat termasuk nelayan kecil ditandai dengan masuknya unsur
masyarakat dalam inisiasi penyusunan rencana zonasi setara dengan pemerintah
dan dunia usaha. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sharif
C. Sutardjo, pada Rapat Paripurna DPR RI tentang Pembicaraan Tingkat II /
Pengambilan Keputusan Terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Jakarta. Substansi dari revisi UU No. 27 Tahun
2007, kata Sharif adalah perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat
dan nelayan tradisional. Untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta
mengakui dan menghormati masyarakat lokal dan masyarakat tradisional yang bermukim
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain
itu, hal yang mendasari dilakukannya perubahan terhadap UU 27/2007 adalah
adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal terkait
HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir).
HP-3 menurut UU ini adalah adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari
perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang
terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang
mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut
pada batas keluasan tertentu. UU ini
juga menjelaskan bahwa HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan
utang dengan dibebankan hak tanggungan.
Dengan
sifat hak tersebut, mengacu pada putusan MK, pemberian HP3 kepada pihak swasta
dinilai sebagai pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan
perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta. Meskipun UU No. 27/2007 mengakomodasi
masyarakat adat untuk bisa memperoleh HP3, namun MK menilai bahwa masyarakat
adat tidak akan mampu memenuhi persyaratan untuk perolehan HP3 dan tidak akan
mampu bersaing dengan pelaku usaha/pemilik modal. Dengan ketidakmampuan tersebut, masyarakat
adat akan kehilangan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Berdasarkan
putusan MK tersebut, maka terminologi “hak” HP-3 dalam Perubahan UU 27/2007 diganti
dengan “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”.
Izin pengelolaan dalam hal ini diwajibkan untuk kegiatan produksi garam,
biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi,
wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan/atau pengangkatan
benda muatan kapal tenggelam. Namun
perlu digarisbawahi bahwa terdapat pengecualian bagi masyarakat hukum adat
terhadap kewajiban ini. Hal inilah yang
membedakan dengan HP-3 pada UU lama sebelum perubahan, dimana masyarakat adat
dan korporasi dipersaingkan untuk memperoleh HP-3. Persaingan tersebut dianggap tidak sehat
sebab korporasi memiliki modal yang jauh lebih besar ketimbang masyarakat adat.
Selain
HP-3, hal yang paling menonjol dari UU baru ini adalah pengalihan pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut yang selama ini dikelola oleh Kementerian Kehutanan
(Kemenhut) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pasal 78A menyebutkan kawasan konservasi di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan
perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan
Menteri. Menteri yang dimaksud dalam UU
ini tentunya menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kelautan dan perikanan alias Menteri Kelautan dan Perikanan.
Penjelasan
pasal 78A bahkan menjelaskan secara lebih detail bahwa yang dimaksud dengan
”kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil” termasuk Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang berada di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, dalam bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka
Margasatwa Laut, Suaka Alam Laut, Taman Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut,
antara lain: Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu, Taman Nasional Kepulauan
Karimunjawa, Taman Nasional (Laut) Bunaken, Taman Nasional (Laut) Kepulauan
Wakatobi, Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate, Taman Nasional Teluk
Cenderawasih, dan Taman Nasional Kepulauan Togean. Hal ini berarti negara telah memutuskan bahwa
kawasan konservasi laut tersebut mesti dikelola oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4739) yang diubah sebagai berikut: (Perubahan saya tandai dengan tulisan
berwarna merah)
1.
Pasal
1 ayat 1
Dalam
UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”
Kemudian
diubah menjadi “Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu
pengoordinasian perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.” (UU No 1 tahun 2014)
2.
Pasal
1 ayat 17
Dalam
UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam
1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan
dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada
gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah.
Kemudian
diubah menjadi “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona
berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan
daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana
yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan
oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.” (UU No 1 tahun 2014)
3.
Pasal
1 ayat 18
Dalam
UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas
bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan
perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang
mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut
pada batas keluasan tertentu.
Kemudian
diubah menjadi “Izin
Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian
Perairan Pesisir yang
mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas
keluasan tertentu dan/atau
untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.” (UU No 1 tahun 2014)
4.
Ditambahkannya
satu ayat baru pada pasal 1 diantara ayat 18 dan 19 yaitu, ayat 18A yang
berbunyi “Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan
kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau
kecil.”. (UU No
1 tahun 2014)
5.
Pasal
1 ayat 23
Dalam
UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut
lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau
drainase.”
Kemudian
diubah menjadi “Reklamasi adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam
rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan
sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.” (UU No 1 tahun 2014)
6.
Pasal
1 ayat 26
Dalam
UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut
lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau
drainase.”
Kemudian
diubah menjadi “Reklamasi adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam
rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan
sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.” (UU No 1 tahun 2014)
Seperti
yang telah saya sebutkan diatas, bahwa dalam pengelolaan dan pelestarian
wilayah pesisir Indonesia merupakan tanggung jawab sinergis antara pemerintah
dan masyarakat, sehingga setelah perundang – undangan yang baru kini menjadi
tanggung jawab dan pekerjaan rumah kita bersama untuk menerapkan dan menaati
undang – undang tersebut agar terlaksananya Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia dan Pulau- Pulau Kecil yang benar benar optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar