Minggu, 24 April 2016

Polemik Pemberhentian Reklamasi Teluk Jakarta



Reklamasi bukanlah hal yang baru dan tabu dalam pengembangan wilayah, selama  dilakukan dengan  benar dan tepat sesuai dengan AMDAL, reklamasi dapat menjadi solusi bagi negara negara di dunia. Belakangan ini reklamasi mulai kembali menjadi sorotan karena terbongkarnya kasus suap yang melibatkan anggota DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi dengan presiden direktur PT Agung Podomoro Land Arisman Wijaya, yang memacu masalah – masalah lain kembali muncul ke permukaan untuk menggungat penghentian mega proyek reklamasi pembuatan 17 pulau di Utara Jakarta.

Sebelum menelisik lebih jauh mengenai polemik Reklamasi Jakarta, perlu diketahui mengenai arti reklamasi itu sendiri. Reklamasi adalah pengurukan kawasan air dengan tanah hingga menjadi daratan yang bisa digunakan sebagai lahan untuk berbagai keperluan, seperti kompleks perumahan, perkantoran, atau tempat wisata.  Berikut adalah beberapa contoh dari reklamasi yang sukses diterapkan oleh negara – negara di dunia.


  • Dubai adalah salah satu negara yang sukses dengan reklamasi. Mereka membangun Palm Island dan World Island dengan menguruk lahan di pantai.


Palm Island Dubai
(http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/01970/palm_1970288c.jpg)


World Island Dubai


  •   Jepang juga berhasil membangun bandara Haneda di atas lahan reklamasi. Dua landasan pesawat di bandara Tokyo ini adalah hasil reklamasi pada 2000.



Bandara Haneda Jepang

  • Singapura juga berhasil menambah luas lahannya dengan reklamasi. Reklamasi seluas 1.500 hektare ini disebut sebagai reklamasi terbesar dalam sejarah Singapura. Rencananya, lahan itu akan digunakan sebagai tempat tinggal buat 200 ribu penduduk.


Bagaimana dengan reklamasi di Indonesia? apakah  Indonesia telah tergolong sukses dalam melakukan reklamasi?

Minggu, 17 April 2016

Analisis Dampak Perubahan Undang - Undang Mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir di Indonesia



Analisis Dampak Perubahan Undang-undang no. 27 tahun 2007 menjadi Undang-undang no 1 tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

[[ Selayang Pandang ]]


Kita sering menjumpai istilah wilayah pesisir, tapi apakah pengertian wilayah pesisir itu sendiri?
Wilayah pesisir berdasarkan UU no 1 tahun 2014 adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Sebelum membahas mengenai Undang Undang tentang Pengelolaan Wilayah pesisir, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai keadaan wilayah – wilayah pesisir di Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan total pulau mencapai 17.508 pulau yang memastikan Indonesia memiliki hamparan wilayah pesisir yang sangat luas.Wilayah pesisir merupakan satu diantara banyak potensi yang dimiliki oleh Indonesia yang harus secara optimal untuk dimanfaatkan sumberdaya nya, yang dalam UU Nomor 27 Tahun 2007, pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa
 Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati;sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang,padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.”
Namun pada faktanya beginilah beberapa gambaran wilayah pesisir di Indonesia




Memang tidak semua wilayah pesisir di Indonesia nampak seperti gambar diatas, tetapi apabila kita melihat beberapa wilayah pesisir di negara tetangga maka akan sangat jelas perbedaan pengelolaan wilayah pesisir antar negara tersebut.
 
Sebagai contoh adalah sebagai berikut :


(Wilayah pesisir Marina Bay Sand Singapura)




(Wilayah pesisir di Sydney Australia)


Atas dasar fakta – fakta tersebut diperlukan usaha usaha baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia untuk bersinergi membangun dan melestarikan wilayah pesisir Indonesia, salah satu usaha dalam mewujudkan hal tersebut diantaranya menerapkan undang – undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir yang tercantum di UU no. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian karena satu dan lain hal direvisi menjadi UU no 1 tahun 2014. Berikut akan dibahas mengenai dampak dan analisis perubahan mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut.

Di penghujung tahun 2013 lalu, DPR RI mengesahkan RUU Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.  Undang-Undang tersebut selanjutnya menjadi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Setidaknya terdapat dua hal penting dalam UU perubahan ini, yaitu tentang pengganti HP-3(Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) dan Kawasan Konservasi Laut. 
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan Revisi Undang-Undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan menjamin hak masyarakat adat setempat. Pemberdayaan masyarakat adat termasuk nelayan kecil ditandai dengan masuknya unsur masyarakat dalam inisiasi penyusunan rencana zonasi setara dengan pemerintah dan dunia usaha. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sharif C. Sutardjo, pada Rapat Paripurna DPR RI tentang Pembicaraan Tingkat II / Pengambilan Keputusan Terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Jakarta. Substansi dari revisi UU No. 27 Tahun 2007, kata Sharif adalah perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat dan nelayan tradisional. Untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum  Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta mengakui dan menghormati masyarakat lokal dan masyarakat tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, hal yang mendasari dilakukannya perubahan terhadap UU 27/2007 adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal terkait HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir).  HP-3 menurut UU ini adalah adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.  UU ini juga menjelaskan bahwa HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.
Dengan sifat hak tersebut, mengacu pada putusan MK, pemberian HP3 kepada pihak swasta dinilai sebagai pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta.  Meskipun UU No. 27/2007 mengakomodasi masyarakat adat untuk bisa memperoleh HP3, namun MK menilai bahwa masyarakat adat tidak akan mampu memenuhi persyaratan untuk perolehan HP3 dan tidak akan mampu bersaing dengan pelaku usaha/pemilik modal.  Dengan ketidakmampuan tersebut, masyarakat adat akan kehilangan hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Berdasarkan putusan MK tersebut, maka terminologi “hak” HP-3 dalam Perubahan UU 27/2007 diganti dengan “izin lokasi” dan “izin pengelolaan”.  Izin pengelolaan dalam hal ini diwajibkan untuk kegiatan produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, pemanfaatan air laut selain energi, wisata bahari, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan/atau pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.  Namun perlu digarisbawahi bahwa terdapat pengecualian bagi masyarakat hukum adat terhadap kewajiban ini.  Hal inilah yang membedakan dengan HP-3 pada UU lama sebelum perubahan, dimana masyarakat adat dan korporasi dipersaingkan untuk memperoleh HP-3.  Persaingan tersebut dianggap tidak sehat sebab korporasi memiliki modal yang jauh lebih besar ketimbang masyarakat adat.
Selain HP-3, hal yang paling menonjol dari UU baru ini adalah pengalihan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut yang selama ini dikelola oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).  Pasal 78A menyebutkan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.  Menteri yang dimaksud dalam UU ini tentunya menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan alias Menteri Kelautan dan Perikanan.
Penjelasan pasal 78A bahkan menjelaskan secara lebih detail bahwa yang dimaksud dengan ”kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil” termasuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka Margasatwa Laut, Suaka Alam Laut, Taman Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut, antara lain: Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu, Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa, Taman Nasional (Laut) Bunaken, Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi, Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, dan Taman Nasional Kepulauan Togean.  Hal ini berarti negara telah memutuskan bahwa kawasan konservasi laut tersebut mesti dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) yang diubah sebagai berikut: (Perubahan saya tandai dengan tulisan berwarna merah)

1.                   Pasal 1 ayat 1
Dalam UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”
Kemudian diubah menjadi “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.” (UU No 1 tahun 2014)

2.                   Pasal 1 ayat 17
Dalam UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
Kemudian diubah menjadi “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.” (UU No 1 tahun 2014)

3.                   Pasal 1 ayat 18
Dalam UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
Kemudian diubah menjadi “Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.” (UU No 1 tahun 2014)

4.                   Ditambahkannya satu ayat baru pada pasal 1 diantara ayat 18 dan 19 yaitu, ayat 18A yang berbunyi “Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.”. (UU No 1 tahun 2014)

5.                   Pasal 1 ayat 23
Dalam UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.”
Kemudian diubah menjadi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.” (UU No 1 tahun 2014)

6.                   Pasal 1 ayat 26
Dalam UU No 27 tahun 2007 berbunyi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.”
Kemudian diubah menjadi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.” (UU No 1 tahun 2014)


      Seperti yang telah saya sebutkan diatas, bahwa dalam pengelolaan dan pelestarian wilayah pesisir Indonesia merupakan tanggung jawab sinergis antara pemerintah dan masyarakat, sehingga setelah perundang – undangan yang baru kini menjadi tanggung jawab dan pekerjaan rumah kita bersama untuk menerapkan dan menaati undang – undang tersebut agar terlaksananya Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia dan Pulau- Pulau Kecil yang benar benar optimal.